Salah satu hari-hari mulia dan mustajabah bagi umat Islam dalam setahun adalah sepuluh hari awal bulan Zulhijjah. Selain berpuasa banyak jenis doa yang bisa dibaca dan diamalkan selama sepuluh hari ini baik yang warid langsung dari Rasulullah SAW maupun dari para ulama shaleh.
Berikut ini beberapa doa yang bisa kita amalkan selama sepuluh hari Zulhijjah yang kami kutip dari kitab Kanz Najah wa Surur fi Ad’iyah Matsur allati Tasyrah Shudur karangan Syeikh Abdul Hamid Qudus hal 276-284 cet. dar Sanabil Disunnahkan membaca doa dibawah ini setiap hari sebanyak 10 kali:
لا إله إلا الله عدد الليالي والدُّهور. لا إله إلا الله عدد الأيام والشهور. لا إله إلا الله عدد أمواج البحور. لا إله إلا الله عدد أضعاف الأجور. لا إله إلا الله عدد القطر والمطر. لا إله إلا الله عدد أوراق الشجرِ. لا إله إلا الله عدد الشّعر والوَبَر. لا إله إلا الله عدد الرمل والحجر. لا إله إلا الله عدد الزَّهر والثمر. لا إله إلا الله عدد أنفاس البشر. لا إله إلا الله عدد لمح العيون. لا إله إلا الله عدد ما كان وما يكون. لا إله إلا الله تعالى عما يشركون. لا إله إلا الله خير مما يجمعون لا إله إلا الله في الليل إذا عسعس. لا إله إلا الله في الصبح إذا تنفَّس. لا إله إلا الله عدد الرِّياح في البرارِي والصخور. لا إله إلا الله من يومنا هذا إلى يوم يُنفخُ في الصور. لا إله إلا الله عدد خلقه أجمعين. لا إله إلا الله من يومنا هذا إلى يوم الدين. انتهى
Kemudian Syeikh Abdul Hamid mengatakan bahwa beliau melihat Imam al-Wanai dalam kitabnya menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam kitab Mukjam Kabir; Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
لا إله إلا الله عدد الدهور، لا إله إلا الله عدد أمواج البحور، لا إله إلا الله عدد النبات والشجر، لا إله إلا الله عدد القطر والمطر، لا إله إلا الله عدد لمح العيون، لا إله إلا الله خيرٌ مما يجمعون، لا إله إلا الله من يومنا هذا إلى يوم يُنفخُ في الصور
Syeikh Abdul Hamid memberikan komentar; Yang terbaik adalah kedua doa tersebut dibaca masing-masing 10 kali, karena boleh jadi juga doa yang pertama juga diriwayatkan dari Rasulullah yang telah dihimpunkan dari dua riwayat. Namun bila ingin membaca salah satu maka lebih baik di baca doa yang kedua, karena doa kedua yang telah pasti dari Rasulullah. Doa lain yang saya dapatkan adalah sebagaimana saya temukan dari tulisan sebagian ulama shaleh bahwa diriwayatkan dari Syeikh Khaththab al-Makki al-Maliky beliau berkata : dituntutkan untuk mengulang-ulang menurut kadar yang mudah doa dibawah ini selama sepuluh hari Zulhijjah;
اللهم) فرَجَكَ القريبَ (اللهم) ستركَ الحصينَ (اللهم) معرُوفَك القديمَ (اللهم) عوائدَك الحسنةَ (اللهم) عطاك الحسنَ الجميلَ، يا قديم الإحسان إحسانك القديمَ، يا دائم المعرُوفِ معروفك الدائمَ
Imam Syarif Maul ‘ainaini dalam kitabnya Na’t Bidayah wa Taushif Nihayah mengatakan salah satu hal yang berfaedah dalam setahun adalah memperbanyak membaca doa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para shahabat khusus;
حسبِيَ الله وكفى، سمع الله لمن دعا، ليس وراءه منتهى، من توكّل على الله كُفِي، ومن اعتصم بالله نجا
|
Sebagian masyarakat yang menyembelih hewan qurban kadang - kadang tidak membagikan daging mentah tetapi daging qurban tersebut dimasak dulu kemudian baru dibagikan. Pertanyaan : Apakah sah daging qurban kita masak dulu baru kemudian kita bagikan ? Jawaban : 1. Tidak sah jika semua daging qurban kita masak dulu, lalu kemudian kita bagikan. 2. Sah jika tidak semuanya kita masak, artinya ada daging mentah yang kita sedekahkan untuk orang miskin walau untuk satu orang miskin. Note : Masalah diatas khusus pada qurban sunnat bukan wajib. Referensi :
ويجب التصدق - ولو على فقير واحد - بشئ نيئا- ولو يسيرا - من المتطوع بها
(قوله: ويجب التصدق إلخ) أي فيحرم عليه أكل جميعها، لقوله تعالى في هدى التطوع وأضحية التطوع مثله.
* (فكلوا منها وأطعموا القانع أي السائل والمعتر) * أي المتعرض للسؤال.
(قوله: ولو على فقير واحد) أي فلا يشترط التصدق بها على جمع من الفقراء، بل يكفي واحد منهم فقط، وذلك لأنه يجوز الاقتصار على جزء يسير منها، وهو لا يمكن صرفه لأكثر من واحد.
(قوله: بشئ) أي من اللحم.
فلا يكفي غير اللحم من نحو كرش وكبد.
(وقوله: نيئا) أي ليتصرف فيه المسكين بما شاء من بيع وغيره.
فلا يكفي جعله طعاما ودعاء الفقير إليه، لأن حقه في تملكه لا في أكله.
(قوله: من التطوع بها) احترز به عن الواجبة، فيجب التصدق بها كلها، ويحرم أكل شئ منها كما تقدم آنفا.
|
Tuesday, September 6, 2016
Doa selama Sepuluh Awal Zulhijjah (klik judul untuk baca selengkapnya)
Monday, August 22, 2016
Shalat Sunat Qabliah Subuh Bisa Menyembuhkan Penyakit Wasir
Diskribsi Masalah :
Berobat bukan berarti tidak tawakkal akan tetapi berobat adalah juga sunnah rasul SAW. karena beliau pernah berobat bila tertimpa sakit, adapun tata-cara berobat jalur alami itu lebih baik karena tidak menimbulkan efek yang berbahaya (Efek Samping), sebaliknya berobat dengan obat-obat kimia dapat menimbulkan efek yang berbahaya (Efek Samping). Bagi anda yang sedang menderita penyakit Ambien (Bawasir) bisa berobat dengan salat fajar atau salat Qabliah subuh, ini cara alami yang dianjurkan oleh syariat Islam dan sangat mudah untuk dilaksanakan.
Pertanyaan :
Bagaimanakah tata-cara melaksanakan salat sunat fajar yang hikmahnya mengobati Ambien ?
Apa sajakah hikmah-hikmah dari Salat Fajar ?
Jawaban 1 :
Waktu shalat qabliah (sebelum) Subuh yaitu mulai keluar fajar (sama dengan waktu Subuh).
Lafaz niatnya ‘’Sengaja aku shalat Fajar atau qabliah Subuh dua raka’at karena Allah swt’’
Tiap-tiap raka’at sunat dibaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas atau dalam riwayat yang lain surat al-Insyirah (أَلَمْ نَشْرَحْ ) dan surat al-Fiil ( أَلَمْ تَرَ كَيْفَ )
Lebih baik atau sunat juga pada tiap-tiap rakaat dikumpulkan seluruh surat di atas supaya mendapatkan kepastian dalam mengamalkan seluruh riwayat para ulama.
Jawaban 2 :
Hikmah atau fazilah shalat fajar yang dilakukan dengan tata-cara di atas insya Allah akan mengobati Ambien (penyakit Wasir), tidak mendapat kemalangan dalam kesehariannya, tercapai hajatnya, akan terbelenggu tangan para musuhnya. Ini adalah hikmah yang tidak diragukan sebagaimana yang telah dirasakan oleh orang-orang shaleh.
Referensi :
kitab Fathul Mui’n juz 1 hal.246 (Cet.Haramain) :
( و ) ركعتان قبل ( صبح ) ويسن تخفيفهما وقراءة الكافرون والإخلاص فيهما لخبر مسلم وغيره وورد أيضا فيهما ألم نشرح لك وألم تر كيف وأن من داوم على قراءتهما فيهما زالت عنه علة البواسير فيسن الجمع فيهما بينهن لتتحقق الإتيان بالوارد أخذا مما قاله النووي في إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا كبيرا
kitab I’anatut Thalibin juz 1 hal.246-247 (Cet.Haramain) :
وقوله فيهما أي في الركعتين وقوله زالت عنه علة البواسير وقيل إن من دوام عليهما فيهما لا يرى شرا ذلك اليوم أصلا ولذا قيل من صلاهما بألم وألم لم يصبه في ذلك اليوم ألم وقال الغزالي في كتاب وسائل الحاجات بلغنا عن غير واحد من الصالحين من أرباب القلوب
أن من قرأ في ركعتي الفجر ألم نشرح لك وألم تر قصرت عنه يد كل عدو ولم يجعل لهم عليه سبيلا وهذا صحيح مجرب بلا شك اه
Wallahu A'alam Bisshawab.
Saturday, August 20, 2016
Uraian dan Pembagian Akal
Hukum dari sisi hakimnya terbagi kepada tiga, hukum akal, hukum adat dan hukum syara'. Kali ini kita akan membahas apa itu hukum akal dan pembagiannya yang kami kutip dari buku Risalah Makrifah Abu Keumala.
Dalam kitab Ummul Barahin, definisi dan pengertian hukum Akal adalah:
عبارة عما يدرك العقل ثبوته اونفيه من غير توقف علي تكرار ولاوضع واضع
Artinya: ‘ibarat (pertimbangan) dari pada sesuatu yang diperoleh ‘akal adanya sesuatu itu, ataupun yang diperoleh tidak adanya sesuatu, yang tidak perlu kepada berulang-ulang dan tidak perlu kepada menetapkan lainnya.
Maka hukum yang disandarkan kepada ‘Akal itu, atau pernah disebutkan hukum ‘Akal terdapat hanya tiga perkar, yaitu
- WAJIB, yaitu sesuatu yang tidak pernah terbayang dalam ‘akal tidak adanya sesuatu itu (mesti ada). Seperti sebuah batu, mesti bergerak atau tetap dalalam satu waktu, ‘Akal tidak akan menerima kalau keduanya itu tidak ada, atau berhimpun bergerak dan tetap dalam satu ketika, akal juga tidak akan menerimanya.
- MUSTAHIL yaitu sesuatu yang tidak pernah terbayang pada ‘akal adanya sesuatu itu (mesti tidak ada). Seperti sebuah batu, bergerak dan tetap ia dalam satu ketika sekaligus atau keduanya tidak ada pada batu itu sama sekali. Hal ini tidak mungkin terjadi dan akal tidak akan menerima adanya yang demikian itu selama-lamanya.
- JAIZ, yaitu sesuatu yang dapat diterima oleh akal adanya atau tidaknya sesuatu. Seperti batu itu bergerak ia pada satu waktu atau tetap ia pada waktu yang lain. Hal yang demikian boleh saja pada akal, tidak ada keberatan apa-apa.
Imam Al-allamah Al Hudhudi berkata:
Dan ketahuilah, sesungguhnya ma’rifah dan mengetahui bagian-bagian hukum ‘akal yang tiga ini, dan diulang-ulang supaya jinak dan mudah dimengerti, adalah yang sangat prinsipil (cukup penting) bagi orang yang ingin kemenangan dan berma’rifah kepada Allah, dan rasulNya, bahkan lebih dari itu, kata Imam Al Haramain dan oleh satu jama’ah: sesungguhnya MA’RIFAH bagian-bagian hukum ‘akal yang tiga ini, adalah batang tubuh ‘akal itu sendiri, sehingga barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka dia tidak berakal. (lihat Asy-Syarqawiy ‘Alal Hudhudiy, hal. 33 s/d 36).
Kemudian, jika kita perhatikan dengan cermat, tentang pertimbangan ‘akal dan pendapatnya, sering kita dapati dua macam, yaitu :
- Mudah dan ringan sekali (disebut Dharuriy). Seperti sebuah benda padat, umpamanya batu, mengambil lapang ia dari udara yang kosong ini, menurut besar/kecilnya benda itu atau kita sebut, 1 + 1 = . . . mudah sekali dia dapat ; 2.
- Sulit dan agak berat (disebut Nadhariy). Seperti tuhan itu wajib wujud dan kekal selama-lamanya atau kita sebut 7 x 2 – 4 : 2 + 9 = . . . agak lama sedikit kita pikirkan, baru dapat ; 14.
Inilah yang kita bicarakan wajib bernadhar dan berpikir, tentang wujud Tuhan dan KekuasaanNya.
Jadi dengan mempergunakan akal untuk bernadhar dan berpikir, nyatalah kepada setiap mukallaf, apa yang wajib pada Tuhan, apa yang mustahil, dan apa yang jaiz padaNya.
Demikian pula kepada RasulNya, apa yang wajib, apa yang mustahil, dan apa yang jaiz pada diri mereka. Setelah ber-ma'rifah yang demikian yang penuh, disebutlah ia ‘arif dengan Allah dan ‘arifdengan RasulNya.
Risalah Ma'rifah Karangan TGk. Syihabuddin Syah (Abu keumala hal. 20 s/d 22)
Sunday, August 14, 2016
Hukum Shalat Makmum Jika Imam Berdehem Dalam Shalat
Deskripsi masalah :
Dalam shalat kita selalu berusaha agar tidak ada hal-hal yang dapat membatalkan shalat, namun kadang-kadang kita belum tahu bahwa kita telah mengerjakan hal yang tidak boleh kita lakukan dalam shalat seperti berdehem.
Pertanyaan : Bagaimanakah status shalat makmum jika imam berdehem dalam shalat ?
Jawaban :
Makmum bisa terus ikut imam yang berdehem jika memang masih mungkin kita tahsin dhan bahwa berdehem imam karena ada ozor.
Referensi : Majmuk Syarah Muhazzab Juz 4 Hal 79 Cet. Dar al-Fikr.
وأما التنحنح فحاصل المنقول فيه ثلاثة أوجه الصحيح الذى قطع به المصنف والاكثرون ان بان منه حرفان بطلت صلاته والا فلا والثانى لا تبطل وان بان حرفان قال الرافعي وحكى هذا عن نص الشافعي والثالث ان كان فمه مطبقا لم تبطل مطلقا والا فان بان حرفان بطلت والا فلا وبهذا قطع المتولي وحيث ابطلنا بالتنحنح فهو ان كان مختارا بلا حاجة فان كان مغلوبا لم تبطل قطعاولو تعذرت قراءة الفاتحة الا بالتنحنح فيتنحنح ولا يضره لانه معذور وان أمكنته القراءة وتعذر الجهر الا بالتنحنح فليس بعذر علي أصح الوجهين لانه ليس بواجب ولو تنحنح امامه وظهر منه حرفان فوجهان حكاهما القاضى حسين والمتولي والبغوي وغيرهم أحدهما يلزمه مفارقته لانه فعل ما يبطل الصلاة ظاهرا واصحهما ان له الدوام على متابعته لان الاصل بقاء صلاته والظاهر أنه معذور والله اعلم
Wednesday, August 10, 2016
Hukum berhaji bagi wanita / perempuan yang masih dalam masa iddah
seorang wanita telah berencana akan menunaikan haji bersama suaminya pada tahun ini, semua persiapan telah diselesaikan. Ini merupakan haji pertama mereka. Keduanya telah mengikuti manasik haji sebagai bekal untuk menjalankan tata cara ibadah haji.
Namun, Allah berkendak lain, hanya seminggu sebelum jadwal berangkan, Allah memanggil kembali suaminya. Maka ia harus menjalani masa iddah dan menjauhi larangan-larangan pada masa iddah.
Salah satu larangan dalam iddah adalah larangan keluar tanpa ada kebutuhan yang mendesak, dengan sebab demikian, maka bagi wanita tersebut tidak dibolehkan untuk keluar melaksanakan ibadah haji.
Namun ada dua kondisi bagi wanita tersebut sehingga dibolehkan keluar untuk haji:
- Bila ia bernazar akan melakukan haji pada tahun ini, sedangkan bila ketika bernazar tidak ditentukan waktu, maka tidak dibolehkan keluar untuk haji.
- Bila dokter mengatakan bahwa kesehatannya tak memungkinkan untuk melakukan haji pada tahun depan.
Referensi:
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج 7 ص 157
ولا تعذر في الخروج لتجارة وزيارة وتعجيل حجة إسلام ونحوها من الأغراض المعدة من الزيادات دون المهمات
قوله وتعجيل حجة إسلام ) خرج به ما لو نذرته في وقت معين أو أخبرها طبيب عدل بأنها إن أخرت عضبت فتخرج لذلك حينئذ ، بل هو أولى من خروجها للحاجة المارة ، لكن في سم على حج : تنبيه : قال الأذرعي : ولينظر فيما لو قال أهل الطب إنها إن لم تحج في هذا الوقت عضبت هل تقدم الحج تقديما لحق الرب المحض وفيما لو كانت نذرت قبل التزوج أو بعده أن تحج عام كذا فحصل الفوت فيه بطلاق أو موت
حاشية على أسنى المطالب شرح روض الطالب
( قوله : وتعذر معتدة مطلقا لا تجب لها نفقة في الخروج إلخ ) قال الأذرعي : ولينظر فيما لو قال أهل الطب إنها إن لم تحج في هذا الوقت عضبت هل تقدم الحج تقديما لحق الرب المحض ، وفيما لو كانت قد نذرت قبل التزوج أو بعده أن تحج عام كذا فحصل الفراق فيه بموت أو طلاق ، وقوله : هل تقدم الحج أشار إلى تصحيحه
روضة الطالبين وعمدة المفتين
فرع لا تعذر في الخروج لأغراض تعد من الزيادات دون المهمات كالزيارة والعمارة واستنماء المال بالتجارة وتعجيل حجة الإسلام وأشباهها
حواشي الشرواني على تحفة المحتاج بشرح المنهاج ج 8 ص 323 دار التراث العربيعهاعا
فرع لو أحرمت بحج أو قران بإذن زوجها أو بغير إذنه ثم طلقها أو مات فإن خافت الفوات لضيق الوقت وجب عليها الخروج معتدة لتقدم الإحرام وإن لم تخف الفوات لسعة الوقت جاز لها الخروج إلى ذلك لما في تعيين الصبر من مشقة مصابرة الإحرام وإن أحرمت بعد أن طلقها أو مات بإذن منه قبل ذلك أو بغير إذن بحج أو عمرة أو بهما امتنع عليها الخروج سواء أخافت الفوات أم لا لبطلان الإذن قبل الإحرام بالطلاق أو الموت في الأولى ولعدمه في الثانية فإذا انقضت العدة أتمت عمرتها أو حجها إن بقي وقته وإلا تحللت بأفعال عمرة ولزمها القضاء ودم الفوات اهـ مغني ونهاية قال ع ش قوله حمل على سفر النقلة أي فتعتد فيما سافرت إليه اهـ
Tata Cara berhaji dan umrah untuk wanita / perempuan
Dalam kajian fiqh, terdapat banyak sekali perbedaan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan bentuk pembebanan hukum (taklif) dan tata-cara pelaksanaannya. Al-Suyuthi (w. 911 H), salah seorang ulama Syafl'iyyah menginventarisir kasus-kasus hukum yang dikhususkan untuk wanita tidak kurang dari 120 kasus, yang tersebar dalam beberapa bagian fiqh.[1]
Perbedaan ini bukanlah bentuk diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, sebagaimana yang dipahami oleh kalangan yang anti terhadap Islam. Tetapi perbedaan ini timbul karena sistem ajaran Islam yang sangat melindungi hak dan martabat wanita.
Bukti nyata dalam hal ini adalah perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap tradisi-tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang merendahkan martabat wanita, dengan ajaran dan nilai-nilai Islam yang mengangkat harkat dan martabat mereka. Oleh karena itu, perbedaan bentuk taklif dan tata-cara pelaksanaannya merupakan salah satu sisi yang bertujuan melindungi serta menjaga harkat dan martabat wanita.
Dalam kaitannya dengan fiqh ibadat, haji/umrah merupakan salah satu ibadat yang pada sebagian bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaannya membedakan antara laki-laki dan wanita. Pembahasan berikut ini akan mengetengahkan tata-cara pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita, dengan merujuk kepada beberapa literatur fiqh Syafiiyyah.
Bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita dapat dirincikan sebagai berikut:
- Harus didampingi oleh mahram/suami, atau beberapa wanita terpercaya. Ini merupakan salah satu syarat kesanggupan (istitha'ah) bagi wanita, di mana istitha'ah itu tak lain adalah salah satu syarat wajib haji/umrah. Artinya, jika syarat ini tidak terpenuhi maka seseorang wanita tidak wajib menunaikan haji/umrah, karena dianggap tidak memiliki kesanggupan. Meskipun demikian, jika seseorang wanita merasa yakin terhadap keamanannya dalam melaksanakan haji atau umrah sendirinya (tanpa pendampingan), maka dibolehkan melaksanakannya jika haji/umrah itu fardhu. Tetapi pelaksanaan ini tidak bersifat wajib. hanya saja dibolehkan (jawaz).[2]
- Harus mendapatkan izin suami bagi yang mempunyai suami, karena melayani (khidmah) suami sifatnya segera. Sedangkan kewajiban haji/umrah sifatnya bisa diundurkan pelaksanaannya (tarakhkhi).[3] Jika seorang isteri melakukan ihram tanpa izin suaminya, maka boleh bagi sang suami memaksanya ber-tahallul, dan terhadap isteri wajib ber-tahallul, baik haji/umrah itu wajib atau sunnat. Seandainya isteri bersikeras tidak mau ber-tahallul, padahal keadaannya memungkinkan ber-tahallul, lantas suami menggaulinya, maka dalam hal ini isteri tersebutlah yang berdosa, sedangkan suaminya tidak berdosa.[4]
- Jika sedang ber-`iddah karena meninggal suami, haram terhadap wanita berangkat menunaikan haji/umrah, jika pada saat meninggal suaminya ia belum masuk ke dalam ihram. Adapun jika terdahulu ihramnya atas meninggal suami, maka boleh baginya berangkat menunaikannya.[5]
- Jika seorang wanita, telah diceraikan dan sedang ber-`iddah, maka boleh bagi mantan suami melarangnya menunaikan haji/umrah agar menyelesaikan ‘iddah-nya terlebih dahulu. Seandainya wanita itu bersikeras pergi haji/umrah, maka dalam hal ini tidak boleh bagi mantan suami memaksanya ber-tahallul jika ‘iddah yang sedang dijalani merupakan ‘iddah dari talak ba-in. Sebaliknya, jika ‘iddah itu raj'i, dan mantan suami pun me-ruju' di dalam masa ‘iddah-nya, maka setelah ruju' dibolehkan bagi suami memaksanya ber-tahallul.[6]
- Disunnatkan terhadap wanita sebelum masuk ke dalam ihram menggunakan inai pada dua telapak Langan sampai kepada pergelangannya. Demikian juga disunnatkan menggunakan sedikit inai pada wajah agar menutupi warna kulitnya. Adapun sesudah ihram maka dimakruhkan menggunakan inai.[7]
- Dimakruhkan terhadap mereka mengucap talbiyyah dengan suara yang keras. Tetapi cukup dengan ukuran mendengar oleh dirinya sendiri.[8]
- Diharamkan terhadap mereka menutup muka di dalam ihram, sama halnya seperti menutup kepala bagi laki-laki. Adapun selain muka, maka wajib ditutupi.
- Dibolehkan terhadap mereka mengulurkan kain dari kepala ke muka dengan cara merenggangkannya dari muka dengan kayu atau lainnya, meskipun hal dilakukan bukan karena suatu kebutuhan. Hukum ini bisa saja berubah menjadi wajib jika is meyakini timbulnya fitnah dengan sebab membiarkan muka dalam keadaan terbuka.[9]
- Dibolehkan terhadap mereka di dalam ihram memakai pakaian yang meliputi badan (muhith), kecuali sarong tangan (quffaz). Meskipun demikian, jika ingin menutupi telapak tangannya, maka dibolehkan dengan cara membalut kain yang lain di atasnya.[10]
- Tidak disunnatkan terhadap mereka pada saat thawaf mengusap Hajar Aswad (istilam). Demikian juga tidak disunnatkan mengecup, dan meletakkan dahi kepadanya, kecuali dilakukan tiga hal tersebut pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.
- Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan thawaf dengan mendekat kepada ka'bah, kecuali pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.[11]
- Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan iththiba'.[12] dan lari-lari kecil (raml) dalam thawaf. Kedua perbuatan ini bisa saja berubah menjadi haram jika dilakukan dengan tujuan menyerupai laki-laki. [13]
- Tidak disunnatkan terhadap mereka lari-lari kecil dalam sa'i, tetapi cukup bagi mereka berjalan seperti biasanya saja. [14]
- Disunnatkan terhadap mereka dalam pelaksanaan wuquf untuk ber-wuquf pads pinggiran mauqif (tempat wuquf). Artinya, kepada mereka tidak dianjurkan ber-wuquf pada tempat yang dianjurkan ber-wuquf terhadap laki-laki, yakni pada batu besar tempat wuquf-nya Rasulullah SAW. Demikian jugs tidak dianjurkan ber-wuquf pads tempat yang berdesak-desakan dengan laki-laki.[15]
- Disunnatkan terhadap mereka jika memungkinkan, agar berangkat ke Mina sebelum terbit fajar untuk melempar jamrah 'aqabah pada hari ke-10 zulhijjah, karena menghindari dari berdesak-desakan. [16]
- Disunnatkan terhadap mereka jika ingin menyembelih kurban atau hadiah untuk mewakilkan penyembelihannya kepada laki-laki. [17]
- Tidak disunnatkan terhadap mereka mencukur rambut ketika ber-tahallul, tetapi cukup dengan menggunting saja.[18]
- Tidak diwajibkan thawaf wida' terhadap mereka, jika saat ingin meninggalkan Makkah mereka dalam keadaan haid atau nifas, tetapi disunnatkan berdiri pada pintu masjid al-haram, dan memanjatkan doa yang telah ditentukan.[19]
- Jika datang haid atau nifas sebelum melakukan thawaf rukun (thawaf ifadhah), dan tidak memungkinkan menetap di Makkah untuk menunggu datangnya suci, maka kepada wanita seperti ini diberikan dua jalan keluar, yaitu: pertama, langsung berangkat dari Makkah tanpa melakukan thawaf, lantas ketika telah sampai pada satu tempat yang sukar untuk kembali lagi ke Makkah darinya, maka mereka ber-tahallul di sini, sama seperti orang yang tertawan. Sedangkan thawaf tetap wajib dalam tanggungannya. Kedua, melakukan thawaf dalam kondisi haid atau nifas dengan cara ber-taqlid kepada Abu Hanifah atau Ahmad ibn Hanbal, yang berpendapat boleh bagi wanita seperti ini melakukan thawaf, dengan resiko menanggung dosa serta wajib menyembelih satu unta. Berdasarkan pendapat ini, maka terlepaslah zimmah wanita ini dari kewajiban thawaf.[20]
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengkhususan tata cara pelaksanaan haji/umrah terhadap kaum wanita dengan berbagai bentuknya, bertujuan untuk menjaga dan melindungi mereka dari berbagai bentuk gangguan dan ketidak-nyamanan mereka di dalam melakukan ibadat ini. Hal ini terlihat jelas dari alasan-alasan hukum yang terdapat di dalam setiap rincian di atas. Alasan-alasan hukum yang dapat ditangkap dari uraian tersebut selalu berorientasi kepada pemberian rasa aman terhadap fisik, harta, dan kehormatan mereka. Dengan demikian, pembedaan tata cara ini merupakan salah satu bentuk perhatian khusus dari syara' dalam menjaga dan melindungi harkat dan martabat wanita.
Referensi
- Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya' al-Kutub at-`Arabiyyah, 1923;
- Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-'Umrah, Cet. V, Makkah: Maktabah al-Imdadi ah 2003;
- Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-'Abbas, Nihayah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. III, Beirut: Dar al-Fikr, 2004;
- Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazha'ir fi al-Furu', Cet. H, Jeddah: al-Haramain, 1960;
- Ibrahim al-Bajuri, Hasyryah al-Bajuri 'ala Syarh ibn Qasim al-Ghazi 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, Jeddah: al-Haramain, t.t;
- Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.
[1] Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhairfi al-Furu', Cet. II, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 151-152
[2] Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, J1d. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 24-25
[3] Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-`Abbas, Nihayah al-Muhlaj bi Syarh al-Minhaj, Jid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 251
[4] A]-Ramli, Nihayah..., hlm. 368
[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, (Jeddah: al-Haramain, U), hlm. 177
[6] Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-ldhah fi Manasik al-Haj wa al-'Umrah, Cet. V, (Makkah: Maktabah at-lmdadiyyah. 2003), hlm. 51
[7] A]-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 129
[8] AI-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 144
[9] AI-Nawawi. Kitab al-ldhah..., hlm. 152
[10] ibn Hajar at-Haytami, Tuhfah..., hlm. 165
[11] Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 84. Lihat juga, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 236
[12] Iththiba' adalah menjadikan bagian tengah kain rida' atau kain penutup badan berada dibawah bahu kanan, tepatnya dibawah ketiak kanan, dan membiarkan bagian atas bahu kanan dalam keadaan terbuka. Sedangkan dues ujung kain tersebut ditempatkan di stns bahu kiri. Lihat, Al-Nawawi, Kitab al-Idhah.... hlm. 207
[13] Al-Ramli, Nihayah..., hlm. 287
[14] A1-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 260
[15] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 283
[16] Al-Mahalli, Jalal al-Din, Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin, Jid. 11, Cet. 1, (Kairo: Dar lhya' al-Kutub al-`Arabiyyah, 1923), hlm. 116
[17] A I-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 331
[18] Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 348
[19] AI-Nawawi, Kitab al-dhah..., hlm. 405-407
[20] Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 74-75
Saturday, August 6, 2016
Pembagian Tauhid atau WAHDANIYAH
Para ulama Ahli sunnah wal Jamaahmenyatakan bahwa hakikat keesaan(wahdaniyah) adalah tiada ta’adud(banyak) pada zat, sifat dan perbuatan Allah. Maka, tiada yang menyerupai Allah SWT baik dari segi zat, sifat maupun af’alNya. Dan yang dikatakan dengantauhid (meng-esakan) adalah melakukan ibadat hanya kepada Zat yang disembah serta mengi’tikadkan esanya zat, sifat, dan af’al tuhan.
Maka Keesaan Allah ada pada tiga hal yaitu tauhid pada zat, tauhid pada sifat dan tauhid pada af’al.
Tauhid pada zat di ambil dari firman Allah dalam surat al-Ikhlash ayat 1 :
Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa zat Allah hanya satu (wahdaniyah).
Sedangkan tauhid pada sifat di ambil dari firman Allah dalam surat syura ayat 11 :
dan juga dari firman Allah surat al-Ikhlash ayat 4 :
Dari kedua ayat di atas bisa di pahami bahwa tidak ada satu zat yang memiliki sifat yang sama dengan Allah dan sifat ketuhanan itu hanya ada pada Allah semata.
Sedangkan tauhid af’al di pahami dari firman Allah surat ar-Ra’d ayat 16 :
dan juga dari firman Allah surat ash-Shaffat ayat 96:
Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa hanya Allahlah yang menciptakan segala makhluk dan juga menciptakan perbuatan dari makhluk tersebut.
Keesaan zat (wahdaniyah fil Zat) pada Allah, meniadakan dua perkara:
1. Zat Allah SWT tersusun dari bagian (kam muttashil fi zat) atau dengan kata yang lain Zat tuhan menerima pembagian walaupun pada kenyataan tidak terbagi.
Maka setiap yang murakab (tersusun) adalah sesuatu yang baharu(bukan qadim) dan juga merupakan makhluk secara otomatis karena semua yang tersusun membutuhkan kepada penyusunnya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Infithar ayat 8:
2. Ada zat lain yang mempunyai kesempurnaan seperti kesempurnaan yang wajib pada Zat Allh SWT dan mustahil baginya sifat-sifat kekurangan yang mustahil bagi Allah (kam munfashil fi zat)
Keesaan pada sifat (wahdaniyah fi shifat) Allah, meniadakan dua perkara:
Keesaan af’al (Wahdaniyah fil Af’al/perbuatan) menafikan: Adanya zat yang menciptakan perbuatan (kam munfashil fi af'al), karna tidak ada zat lain yang sama dengan Allah SWT dalam menciptakan perbuatan, tetapi hanya Allah yang menjadikan dan meniadakan sesuatu. Adapun yang ada pada hamba hanyalah kehasilan dari usahanya (kasbu) yang diciptakan Allah. Maka wajib bagi kita untuk mengiktikadkan bahwa sungguh segala perbuatan baik itu kecil maupun besar adalah ciptaan ALLAH swt semata.
Firma-Nya:
Sabda Nabi Saw:
Maka Keesaan Allah ada pada tiga hal yaitu tauhid pada zat, tauhid pada sifat dan tauhid pada af’al.
Tauhid pada zat di ambil dari firman Allah dalam surat al-Ikhlash ayat 1 :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
katakanlah bahwa Allah itu esa Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa zat Allah hanya satu (wahdaniyah).
Sedangkan tauhid pada sifat di ambil dari firman Allah dalam surat syura ayat 11 :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
tidak ada yang semisil bagi Allah sesuatupun.dan juga dari firman Allah surat al-Ikhlash ayat 4 :
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
dan tidak ada bagiNya sekutuDari kedua ayat di atas bisa di pahami bahwa tidak ada satu zat yang memiliki sifat yang sama dengan Allah dan sifat ketuhanan itu hanya ada pada Allah semata.
Sedangkan tauhid af’al di pahami dari firman Allah surat ar-Ra’d ayat 16 :
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Allah menciptakan segala sesuatu.dan juga dari firman Allah surat ash-Shaffat ayat 96:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.Dalam ayat ini dapat di pahami bahwa hanya Allahlah yang menciptakan segala makhluk dan juga menciptakan perbuatan dari makhluk tersebut.
Keesaan zat (wahdaniyah fil Zat) pada Allah, meniadakan dua perkara:
1. Zat Allah SWT tersusun dari bagian (kam muttashil fi zat) atau dengan kata yang lain Zat tuhan menerima pembagian walaupun pada kenyataan tidak terbagi.
Maka setiap yang murakab (tersusun) adalah sesuatu yang baharu(bukan qadim) dan juga merupakan makhluk secara otomatis karena semua yang tersusun membutuhkan kepada penyusunnya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Infithar ayat 8:
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاء رَكَّبَكَ
Artinya : dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.2. Ada zat lain yang mempunyai kesempurnaan seperti kesempurnaan yang wajib pada Zat Allh SWT dan mustahil baginya sifat-sifat kekurangan yang mustahil bagi Allah (kam munfashil fi zat)
Keesaan pada sifat (wahdaniyah fi shifat) Allah, meniadakan dua perkara:
- Allah SWT mempunyai dua sifat yang sama misalnya dua Qudrah dan Dua iradah (Kam Munfashil fi shifat). Qudrah-Nya itu satu. Dengan qudrah yang satu tersebut Allah menciptakan dan meniadakan segala sesuatu. Demikian juga pada sifat-sifat yang lain.
- Ada makhluk yang mempunyai sifat seperti salah satu sifat Allah SWT (kam munfashil fi shifat). Misalkan, mempunyai iradah yang sanggup mengkhususkan seperti halnya Iradah Allah, mempunyai ilmu yang mengetahui segalanya dan lain-lain.
Keesaan af’al (Wahdaniyah fil Af’al/perbuatan) menafikan: Adanya zat yang menciptakan perbuatan (kam munfashil fi af'al), karna tidak ada zat lain yang sama dengan Allah SWT dalam menciptakan perbuatan, tetapi hanya Allah yang menjadikan dan meniadakan sesuatu. Adapun yang ada pada hamba hanyalah kehasilan dari usahanya (kasbu) yang diciptakan Allah. Maka wajib bagi kita untuk mengiktikadkan bahwa sungguh segala perbuatan baik itu kecil maupun besar adalah ciptaan ALLAH swt semata.
Firma-Nya:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون
Artinya: Dan Allahlah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.(Qs.as-Shaffat 96)Sabda Nabi Saw:
إن الله يصنع كل صانع وصنعته
Artinya: Sesungguh Allah SWT yang menciptakan setiap pencipta dan dan ciptaanya. (H. R. Imam Bukhari)Friday, August 5, 2016
Penjelasan Hadis-Hadis Tentang Keimanan Orang Tua Rasulullah saw
Dewasa ini, ada banyak argumentasi yang mengatakan dua orang tua nabi Muhammad saw dalam neraka. Semestinya, tuduhan tersebut tidak ditudingkan kepada ayahanda dan ibunda Rasul saw yang terhormat. Karena, itu adalah bentuk arogansi terhadap Rasul. Maka dalam hal ini, kami ingin melanjutkan pemaparan sebelumnya dalam hal membela dua orang tua nabi Muhammad saw dengan argumen yang ilmiah, kuat dan kokoh dalam filter Ahlisunnah Wal Jama’ah yang bahwa dua orang tua nabi Muhammad saw adalah ahli surga.
Adapun dalil-dalil hadis yang menyatakan tentang keimanan orang tua Nabi Muhammad saw sebagai ahli iman :
Hadis Pertama :
وروي ابن مَرْدُوِيَّةِ عن أَنَسٍ رضي الله عنه قال:قَرَأَ رَسُوْلَ الله صَلَّي الله عليه وسلم "لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ فَقَال عَلِي بْن طَالِبٍ رضي الله عنه :يَا رَسُولَ الله مَا مَعْنَى أَنفُسِكُمْ ؟ انا أَنفُسِكُمْ نَسَبًا وصَهْرًا وَحَسَبًا لَيْسَ فِيَّ وَلَا فِي اَبَائِ مِنْ اَدَمَ سِفاَحِ, كُلُّناَ نِكاَحٌ .
Diriwayatkan dari Ibnu Mardiyyah dari Anas ra berkata ia : Rasul saw membaca ( "لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ ") maka Saidina Ali ra bertanya pada Rasulullah saw : Apakah makna dari أَنفُسِكُمْ dalam ayat tersebut wahai Rasulullah saw,lantas rasul menjawab aku keturunanku,kerabatku,leluhurku tidak termasuk dalam dari keturunan hasil zina ,semua dalam keadaan nikah yang sah.
Hadis Kedua :
وَرَوَي الطبرني عَنِ ابْن عَبَاس رضي الله عنهما مرْفُوعًا:مَا وَلَدَني سِفَاحُ الَجاهِلِيَّةِ وَ مَا وَلَدَني اِلَّا نِكَاحٌ كَنكاح اْلاِسَلَامِ
Riwayat dari daraqutni dari Ibnu Abbas hadis secara marfu’ : tidak dilahirkanku dari darah yang jahiliah , dan tidak dilahirkan aku kecuali dalam ikatan nikah Islam.
وَرَوَي البيهاقي, وَابْن عَسَاكِرِ عَن اَنَسٍ رضي الله عنه قال:خَطَبَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم فقال اَنَا محمد بْنِ عبد الله بْنِ المطلب بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عبد مَنَافٍ بْنِ قُصَي بْنِ كِلَابِ بْنِ مرة بْنِ كَعَبِ بْنِ لُؤَي بْنِ غَالِبِ بْنِ فَهَرِ بْنِ ماَلِكِ بْنِ النِضَر بْنِ كِنَانَةِ بْنِ خريمة بْنِ مدركة بْنِ اِليَاسٍ بْنِ مُضَر بْنِ نِزَارٍ , وَمَا اِفْتَرَقَ النَّاسُ فِرْقَيْنِ اِلاَّ جَعَلَنِي الله فِي خَيْرِهِمَا فَأَخْرَجْتُ مِنْ أَبوي, فَلَم يَصِبنِي شَيٌء مِن عَهْرِ الْجَاهِلِيَّةِ , وخَرَجتُ مِن نِكَاحٍ, وَلَم أَخرُج مِن سِفَاحٍ مِن لَدُنِ اَدَمَ حَتى اِنُتَهَيُت اِلَي أَبِي وأُمِّي فَأَناَ خيرُكُم نفسا و خَيْرُكمْ اَباً
Diriwayatkan oleh Baihaqi dan Ibnu A’sakir dari Anas ra berkata ia : rasulullah saw berkhutbah beliau bersabda : Aku Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusai bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luai bin Galib bin Fahar bin Malik bin Nazar bin Kinanah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudzar bin Nizar. Tidaklah terbagi dua kelompok kecuali aku adalah yang terbaik diantaranya maka aku dilahirkan dari orang tuaku dan aku tidak pernah terkena dengan kotoran jahiliyah. Aku dilahirkan dari pernikahan yang sah , dan aku tidak dilahirkan dari Adam hingga sampai kepada Ayahku dan ibuku. Aku adalah sebaik-baik manusia dan aku mempunyai ayah yang terbaik.
Hadis Ketiga :
Dalam Surat A-Syu’ara pada ayat 218-219
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِ
Allah yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk salat). Dan melihat perobahan gerak-gerikmu diantara orang-orang yang sujud.
Para mufassir mentafsirkat ayat tersebut di dalam komentarnya
اَنَّ نُوْرَهُ صلي الله عليه وسلم يَتَقَلَّبُ مِنْ سَاجِدٍ اِلَى سَاجِدٍ , اي مِنْ مُصَلٍّ اِلَى مُصَلٍّ
Nur nabi Muhammad saw berpindah dari ahli sujud kepada ahli sujud (ahli iman)
Hadis Keempat :
وَرَوَي اَبُوْ جَعْفَرِ النُّحَاسِ عَنِ ابْنِ عَبَّاٍس رَضَيَ الله عنهما اَنّهُ قَالَ تَقَلَّبَ فِي الظُّهُوْرِ حَتَّي اَخْرَجَ نَبِيَّا.
Diriwayat oleh Abu Ja’far Nuhas diambilkan dari Ibnu Abbas berkata : sesunnguhnya nur nabi Muhammad saw berpindah pada setiap seingga lahirlah beliau.
Hadis Kelima :
عن ابن رضي الله عنهما لَمْ أَزَلْ الله يَنْقَلُنِي مِنْ اَصْلاَبِ طَيَّبَةٍ اِلَى اَرْحَامٍ طًاهِرَة ٍ
Dari Ibnu Abbas ra sesunnguhnya Allah memindahkan nur-ku dari sulbi-sulbi yang yang suci kepada rahim yang suci.
Hadis Keenam :
وقوله صلي الله عليه وسلم فَاَنَا خَيَّارٌ مِنْ خَيَّارٍ اِلَي خَيَّارِ . فَاَنَا خَيْرُكُمْ نَفْسًا خَيْرُكُمْ اَبًا
Sabdanya saw Aku adalah orang yang terpilih dari pada yang terpiih dan Aku adalah sebaik-baik manusia dan aku mempunyai sebai-baik ayah (Abdullah).
Hadis ini sangat jelas bahwa beliau mempunyai ayah yang baik, bukan kafir karena orang-orang kafir disebutkan dalam Al-Quran adalah golongan najis disegi I’tiqatnya sebagai mana terdapat dalam surat At-Taubah ayat 28.
Hadis ini sangat jelas bahwa beliau mempunyai ayah yang baik, bukan kafir karena orang-orang kafir disebutkan dalam Al-Quran adalah golongan najis disegi I’tiqatnya sebagai mana terdapat dalam surat At-Taubah ayat 28.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Wahai orang-orang yang beriman sesunguhnya orang musyrik adalah najis (Kufur i’tikatnya)
Hadis Ketujuh :
وقوله صلي الله عليه وسلم لَمْ أَزَلْ انْقَلُ مِنْ أَصْلاَبِ الطَّاهِيْرِنَ اِلَى اَرْحَامِ الطَّاهِرَاتِ
Sabda nabi Muhammad saw senantiasa aku berpindah dari segala sulbi yang suci kepada rahim yang suci.
Tanggapan Para Ulama Terhadap Tudingan Ayah Dan Ibu Nabi Muhammad saw Dalam Neraka.
Dalil golongan yang menyatakan orang tua Nabi masuk neraka adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Artinya : Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah “ Ya, Rasulullah, dimana keberadaan ayahku ?, Rasulullah menjawab : “ dia di neraka” . maka ketika orang tersebut hendak beranjak, rasulullah memanggilnya seraya berkata “ sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka “.
Imam Suyuthi menerangkan bahwa Hammad perawi hadis di atas diragukan oleh para ahli hadits dan hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Padahal banyak riwayat lain yang lebih kuat darinya seperti riwayat Ma’mar dari Anas, al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqosh :
اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله اَيْنَ اَبِي قَالَ فِي النَّارِ قَالَ فَأَيْنَ اَبُوْكَ قَالَ حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ
Artinya : Sesungguhnya A’robi berkata kepada Rasulullah SAW''dimana ayahku ? Rasulullah SAW menjawab : “ dia di neraka”, si A’robi pun bertanya kembali'' dimana AyahMu ? Rasulullah pun menawab “ sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar dengan neraka''Riwayat di atas tanpa menyebutkan ayah Nabi di neraka.
Ma’mar dan Baihaqi disepakati oleh ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harus didahulukan dari riwayat Hammad.
Ma’mar dan Baihaqi disepakati oleh ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harus didahulukan dari riwayat Hammad.
Rujukan :
Kitab Sadad ad-Din wa Sidad ad-Dain fi itsbat Najah wa Darajat lil Walidain hal. 104-126
Karya Sayed Muhammad bin Rasul Barzanji
Kitab Minahul Makiyyah Fi Syarhi Hamziyyah hal.102-103
Karya Ibnu Hajar Al-Haitami
Kitab Sadad ad-Din wa Sidad ad-Dain fi itsbat Najah wa Darajat lil Walidain hal. 104-126
Karya Sayed Muhammad bin Rasul Barzanji
Kitab Minahul Makiyyah Fi Syarhi Hamziyyah hal.102-103
Karya Ibnu Hajar Al-Haitami
Subscribe to:
Posts (Atom)